Senin, 25 Oktober 2010

DEWASA

"DEWASA".. Sebenarnya tidak ada yang terlalu menarik dari 6 huruf ini, hanya mungkin akan tercipta sebuah perasaan yang sulit untuk diungkapkan dengan indera ketika mendengar kata ini. Sebuah rasa akan kekuatan, kemantapan dan juga kesiapan.

Tadi malam selesai Maghrib aku hidupkan channel TV (lama sekali rasanya sudah tidak melihat media elektronik ini bergerak-gerak). Aku mencari-cari tombol nomor 3 dan menekannya. Siaran berhenti di channel Metro TV. Golden Ways'a pak Mario sudah berlangsung dari 1/2 jam yang lalu. Tema yang sedang disampaikan adalah "Falling In and Out of Love" (kalau tidak salah baca). Karena tema yang sepertinya cukup menarik aku pun mempersiapkan diri, menarik sebuah kursi dan duduk dengan baiknya di depan TV.

Seperti yang mungkin sudah bisa ditebak, isi bahasan yang disampaikan adalah all about love. Bagaimana agar cinta terus bersemi, bagaimana untuk setia, bagaimana caranya mendapatkan cinta dari orang yang kita sukai, bagaimana mencintai seseorang tanpa menuntut apa pun darinya dan lain-lain dan sebagainya. Semua mempunyai permasalahan sendiri-sendiri tentang cinta. Baik pasangan ibu-bapak yang sudah menikah, muda mudi yang sedang memiliki hubungan, maupun para single yg setia dengan dirinya sendiri. Intinya, atas nama cinta semuanya mempunyai masalah dengannya.

Namun aku bukannya ingin membahas tentang isi MTGW tadi malam, tapi ada hal lain yang membuat ku tercenung dan terus berputar-putar di pikiran. Hingga akhirnya tidak tahan juga untuk tidak menuliskannya.



Di acara tersebut, tepatnya di kursi bagian paling depan yang menghadap langsung ke tengah podium, aku melihat seorang Ibu dengan senyuman yang terukir tipis dan mata yang bersinar duduk bersahaja di salah satu kursi. Feelingku mengatakan bahwa aku tahu siapa dia. Saat kamera TV kembali menyoroti ibu tersebut, aku baru sadar bahwa itu adalah Ibu Linna. Istri Pak Mario Teguh.

Kamera pun sempat beberapa kali menyoroti beliau dan jujur saja, aku pun mulai tidak terlalu memperhatikan lagi kata-kata yang diucapkan oleh pak Mario. Pandanganku terpusat pada Ibu Linna. Dari caranya menatap, caranya tertawa dan bagaimana ia tersenyum. Entah mengapa ada perasaan lain yang kurasakan. Dan tiba-tiba pikiranku bermain. Aku bertanya dalam hati "Apakah yang sedang di pikirkan oleh Ibu Linna saat ini, ketika ia melihat suami yang dikasihinya berdiri di hadapannya, memberikan motivasi disaksikan oleh jutaan rakyat Indonesia?", "Apa yang ia pikirkan ketika suaminya telah menjadi orang sukses seperti saat ini?", "Apa yang ia pikirkan ketika melihat sang suami berada dalam tahap puncak kedewasaan, dimana kesuksesannya tsb menjadi penambah penghargaan sang suami untuk memuliakan sang istri"?

Saat acara berlangsung Ibu Linna memang sedang duduk di kursi. Tidak tahu ya apakah ini pandangan yang subjektif atau bukan berhubung aku seorang wanita, tapi aku melihat pusat sebenarnya yang ada di ruangan itu adalah Ibu Linna, bukan Pak Mario. Pak Mario adalah pancaran dari sebuah keagungan yang dipantulkan oleh Ibu Linna. Sebuah kedewasaan yang dihasilkan dari pembinaan yang terdidik. Benarlah jika dikatakan "Dibalik pria yang besar ada seorang wanita yang agung". Tak tahu apakah aku terlalu berlebihan dalam menilai, tapi itu yang kurasakan.

"Dewasa".. bukanlah hal yang mudah untuk diciptakan. Ia lahir dari sebuah pembinaan jangka panjang, dari kerumitan dan likunya kehidupan. Seseorang bisa menjadi dewasa dari orang-orang di sekitarnya, dari lingkungan yang ia hadapi, dari tantangan yang coba ia lalui, dari amanah yang coba ia tunaikan. Melihat kebersamaan Pak Mario dan Ibu Linna, aku rasanya seperti melihat sebuah kedewasaan yang terdidik dan matang. Kedewasaan dari sebuah kesuksesan. Kedewasaan yang didambakan oleh setiap orang, terutama di usia senja mereka.

Mungkin pastilah sebagian dari kita menganggap ya wajarlah saja jika Pak Mario dan Ibu Linna telah dewasa, toh usia mereka juga sudah tidak muda lagi, jadi pasti mereka sudah dewasa. Tapi jangan salah teman, dewasa itu bukanlah sikap yang bisa dibeli dari usia. Sebagai contoh, ada seorang bapak yang saya kenal, usianya hampir mencapai 60 tahun. Tergolong keluarga yang sukses dengan anak-anak yang semuanya sudah berkeluarga dan membanggakan orang tua. Sekilas pandang tak ada yang kurang. Finansial sudah pasti sangat berkecukupan (jika tidak dikatakan berlebih). Anak-anak sangat menyayangi orang tuanya, ditambah dengan cucu-cucu yang kecil mungil, menambah kebahagiaan keluarga besar tersebut.

Tapi apa lah disangka, ternyata sang bapak memiliki wanita lain diluar sana dan bukan hanya satu. Tak tahan dengan sikap sang suami akhirnya sang istri mengajukan gugatan cerai setelah 38 tahun usia pernikahan mereka. Sungguh ironi, saat yang seharusnya dipetik dan dirasakan hanyalah kebahagiaan tapi ternyata hancur karena tidak adanya kedewasaan dari dorongan-dorongan merasa tidak pernah puas dengan kehidupan.

Jika kita mau merenung sejenak, sesungguhnya setiap kebahagiaan dan kesuksesan kita hari ini adalah amanah dari Yang Maha Kuasa. Jika kita bisa mensyukurinya dengan sikap yang dewasa maka Allah akan menambah kebahagiaan tersebut, tapi tentunya juga dengan konsekuensi bahwa kedewasaan kita harus bertambah juga. Karena semakin dewasa kita, maka akan semakin bertambah nikmatnya dan semakin banyak juga tantangan yang harus dilewati. Jadi janganlah heran apabila hari ini, banyak keinginan kita yang masih ditunda oleh Allah. Mungkin karena kita belum dewasa menghadapi siklus kita di hari ini. Karenanya Allah belum memberi amanah yang lebih besar lagi agar jangan sampai kita terbebani dengan hal yang belum sanggup untuk kita pikul.

Hhh.... berbicara tentang kedewasaan membuatku tersadar bahwa masih banyak amanah yang belum kutunaikan hari ini. Masih sering keegoisan aku kobarkan di hati. Masih sering aku tak bisa menjaga lisan ini dari kata-kata yang tidak baik. Masih sering hati ini berprasangka terhadap yang lain. Masih banyak hal-hal penting yang aku sepelekan, yang padahal lebih penting dari apa yang sedang aku kerjakan sekarang. Dan karenanya mungkin Allah menunda beberapa kebahagiaan dan kesuksesanku hari ini. Karena ternyata aku belum dewasa.

3 komentar:

  1. Sepertinya aku juga belum dewasa,, karena emosi masi suka berkobar-kobar..

    BalasHapus
  2. Sebenarnya ada terlalu banyak sudut pandang untuk menilai kedewasaan... Dewasa atau matang dalam satu sisi, belum tentu dewasa atau matang dalam hal lain. Contohnya, bisa jadi ada orang yang dewasa dalam menghadapi masalahnya, bisa mengambil hikmah dari setiap pengalaman hidupnya, dia bisa dibilang dewasa. Tapi, ternyata belum bisa berlapang dada dalam menghadapi orang lain yang berseberangan pendapat dengannya, dalam hal ini dia belum dewasa.
    *panjang amat yak komentarnya, tapi kayanya gak nyambung ama postingannya*

    BalasHapus
  3. Qori: susah memang untuk ngendalikan emosi.. masih harus banyak belajar dan banyak bersabar ne..

    K'Mila: bener kak, kedewasaan memang beda2 subtansinya tergantung dari kesiapan mental pribadi masing-masing akan kondisi di sekitarnya yang menuntut kedewasaan tsb.

    BalasHapus