Kamis, 30 September 2010

Guna

Senin, 27 September 2010
Apa guna Tuhan? Kita mungkin tak pernah bertanya. Kita mungkin takut bertanya. Tapi Tuhan dimanfaatkan manusia tiap hari: Ia jadi tumpuan untuk mendapatkan yang dihasratkan. Ia disebut Sang Maha Pemurah: Ia sumber perkenan. Dengan perkenan Nya si sakit dibuat sembuh, si zalim jatuh, perka­winan selamat, bulu tangkis menang, dan bisnis beruntung. Pernah ada seorang pengusaha yang mera­yakan ulang tahunnya dengan disertai seorang pendeta yang membacakan ”doa mencegah bangkrut”.


Mungkin hanya orang macam Meister Eckhart, mistikus Jerman yang hidup di abad ke 14 itu, yang bisa me­ngatakan: ”Kalaupun satu satunya doa yang kamu bisa ucapkan adalah ’terima kasih’, itu sudah akan cukup.”


Memang ada beda antara Tuhan seorang mistikus dan Tuhan orang ramai. Bagi orang ramai, Tuhan itu bermanfaat. Kalaupun bukan untuk jadi sang penolong, Ia jadi fondasi terakhir dari apa yang mereka ketahui dan perbuat. Dunia tak kekal dan tak tunggal, bergerak acak dan tanpa kepastian. Tanah dan laut menyimpan bekas gerakan yang tak semuanya tampak, bencana yang tak bisa diprediksi. Mengalami itu, manusia akan jadi gila seandainya tak menemukan sesuatu yang stabil dan abadi. Dengan itu yang acak dijelaskan, yang kacau pun ditata.


Maka Tuhan pun hadir dan disembah.


Tapi tak hanya karena itu. Tuhan tak hanya bermanfaat dalam keadaan manusia goyah. Ada sesuatu dalam diri manusia yang tak mudah dijelaskan. Kant adalah pemikir pertama yang mendeteksi hal itu; ia menyebutnya ”hukum moral”.


Kita tahu manusia terdiri dari tubuh yang tak bisa lepas dari hukum di dunia fisik: jasad itu akhirnya akan aus, atau tak bisa melawan gravitasi, atau bertambah vo­lume bila diisi. Jasmani itu tunduk pada hubungan yang deterministis. Tapi di samping yang fisik itu, ada yang lain. Ternyata pada manusia ada sesuatu yang, untuk mudahnya, oleh Kant disebut ”noumenal”: rasio yang membuatnya otonom dari alam. Pada manusia ada ”hukum moral”.


Kesadaran akan hukum moral ini sering konflik dengan hasrat badan kita, tapi kita mengakuinya sebagai sesuatu yang lebih tinggi ketimbang dorongan tubuh kita mengejar kenikmatan. ”Hukum moral” itu, dalam pemikiran Kant, tak lahir dari pengalaman. Ia inheren dalam struktur kejiwaan kita. Ia semacam mahkamah yang sudah tertanam sejak kita jadi manusia. Ia menuntut kita mematuhinya secara mutlak. Dan kita mematuhinya bukan karena kita hendak mendapatkan hadiah atau pahala. Kita mematuhinya tanpa syarat, tanpa pamrih, tanpa perkecualian.


Dalam bahasa Kant, kita mematuhinya sebagai ”ka­tegorischen Imperativ”, kewajiban kategoris—yang harus kita patuhi sebagai sesuatu yang universal berlaku, tanpa standar ganda, dengan melihat manusia bukan sebagai alat, melainkan sebagai tujuan.


Dari mana datangnya? Kant tak bisa menjawab. Kata katanya yang termasyhur: ”Dua hal yang memenuhi pi­kiran dan makin lama makin mengagumkan dan membuat kita terkesima… malam yang penuh bermiliar bintang di angkasa dan hukum moral di dalam diri manusia.”


Kita tahu Kant hidup lebih dari satu abad sebelum Sigmund Freud. Ia belum baca penjelasan bahwa ada nafsu di bawah sadar yang mendasari semua perilaku manusia. Tapi seperti Freud, Kant tak mencari penjelasan tentang ”hukum moral” dari agama. Tindakan moral, kata Kant, bukanlah jadi sesuatu yang kita anggap wajib karena itu perintah Tuhan. Tapi kita harus menganggapnya sebagai titah Tuhan karena kita punya ”kewajiban batin” kepada tindakan moral itu.


Dengan kata lain, peran dan kehadiran Tuhan disim­pulkan dari deduksi. Tuhan harus diasumsikan ada, karena ada kesadaran moral pada manusia. Sebuah agama yang bertolak dari akal budi, menurut Kant, tak didasarkan kepada wahyu ilahi, melainkan kepada rasa tanggung jawab yang ditafsirkan sebagai unsur ilahiah dalam diri manusia.


Tampak ada ambivalensi dalam pandangan Kant ten­tang Tuhan. Ia berangkat dari tesis bahwa manusia adalah makhluk yang otonom. Tapi ia menyimpulkan manusia memerlukan fondasi. Kant punya pengaruh yang kuat dalam teologi Kristen, tapi sebenarnya ia tak bisa dikatakan sebagai pemikir yang memandang Tuhan dengan sangat hormat. Bukunya, Die Religion innerhalb der Grenzen der blosten Vernunft (Agama dalam Batas batas Akal Semata) dilarang beredar oleh Frederick William II. Sensor telah mencium ada yang murtad dalam risalah filosof dari Könisberg yang terpencil itu.


Kant tak melawan. Tapi dalam catatannya yang ditemukan setelah ia meninggal, yang dihimpun dalam Opus postumum (dari 1882 84), ada satu kalimat yang bisa merisaukan orang orang beriman: ”Tuhan bukanlah satu substansi yang ada di luar diriku, tapi hanya satu hubungan moral dalam diriku”. Akal budi punya daya untuk memerintah dengan wibawa, dan ”menyamar sebagai satu person ilahiah”. Maka ”Sang Ens Summum [Wujud yang Maha Luhur] adalah sebuah ens rationis [sebuah kreasi akal budi]….”


Demikianlah Tuhan berguna. Ia jadi sumber kesatupaduan. Ia, bersama agama yang dibangun atas nama Nya, berfungsi sebagai penata kehidupan sosial. Ia bisa dipakai untuk menenteramkan hati kita ketika tak ada poros bagi nilai nilai yang berubah dan berbeda.


Tapi begitukah kita bicara tentang Tuhan? Cukupkah Tuhan hanya dimengerti sebagai Fondasi yang stabil dan statis, bukan Tuhan dalam ketidakterdugaan hingga kita tak mampu menangkap Nya untuk digunakan?


Meister Eckhart mengutip seorang Guru: ”Andai kata aku punya Tuhan yang dapat kumengerti, aku tak akan menganggapnya Tuhan.” Mungkin juga: Andai kata aku punya Tuhan yang dapat kugunakan, aku tak akan ­me­nganggapnya Tuhan.

Goenawan Mohamad

2 komentar: